Jumat, 07 Januari 2011

manajemen pemberdayaan

konsep pemberdayaan masyarakat dan pengalaman pelaksanaan konsep tersebut di beberapa program pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah Republik Indonesia maupun beberapa lembaga swadaya masyarakat dan sejumlah badan usaha. Buku ini menjelaskan bahwa pemberdayaan sesungguhnya adalah upaya sadar memerdekakan manusia dari ketidakberdayaan, kemiskinan, dan kebodohan. Apabila keberdayaan dipahami sebagai upaya membebaskan manusia dan masyarakat secara sistematis dari tiga belenggu itu, maka niscaya manusia dan masyarakat akan keluar dari jeratan kemiskinan.
membuka wacana pemberdayaan melalui diskusi konseptual tentang urgensi pemberdayaan dan dilanjutkan diskusi praktis tentang penerapan pemberdayaan dalam penanggulangan kemiskinan. memberikan uraian terinci mengenai penelusuran konsep pemberdayaan mulai dari definisi tentang pembangunan serta berbagai definisi dan teori pembangunan ekonomi yang berlanjut pada kecenderungan konsep pembangunan di Indonesia mulai dari growth strategy hingga konsep pemberdayaan (empowerment) itu sendiri. Bahasan kedua ini dipertajam oleh batasan konseptual pemberdayaan serta semakin mempunyai koridor yang jelas ketika mendiskusikan konsep pemberdayaan dalam batasan konsep pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat.
apabila menginginkan penerapan konsep pemberdayaan sebagai pendekatan dalam pembangunan atau program dan proyek yang bersifat langkah tindak nyata. Oleh karena itu, dalam bahasan ketiga ini pembaca diajak mendiskusikan prinsip pemberdayaan, berpikir tentang beberapa efek penerapan pendekatan pemberdayaan.
Sudut pandang pengukuran pemberdayaan masyarakat demikian melahirkan konsekuensi bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan pendekatan yang hingga kini dapat dianggap paling sesuai untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin dalam jangka panjang.
Beberapa model-model pemberdayaan dibahas dalam Bab ini, baik yang masih bersifat teori maupun yang sudah berbentuk implementatif, baik yang dilaksanakan secara kewilayahan maupun sektoral.
Manajemen dengan berbagai konsep dan jenisnya berkembang pesat terutama di dunia (organisasi) bisnis, yang tentu saja dengan modifikasi-modifikasi tertentu dapat dimanfaatkan oleh organisasi pemerintah (publik) maupun bagi organisasi-organisasi sosial lainnya yang berkategori organisasi-organisasi non publik. Untuk itu, tulisan ini akan mencoba menguraikan berbagai perkembangan dan konsep-konsep manajemen yang dapat dipergunakan dalam memberdayakan sumber daya manusia
Walaupun perkembangan ilmu dan teori manajemen lebih banyak dipengaruhi oleh kebutuhan perkembangan bisnis, tapi pada dasarnya organisasi di luar bisnis (publik) dapat memanfaatkan perubahan-perubahan tersebut. Hingga saat ini teori manajemen sudah berkembang hingga generasi kelima (V), walaupun istilah sebenarnya kurang tepat, barangkali lebih tepat disebut sebagai perbedaan pendekatan paradigma.
Secara sistematis perkembangan teori manajemen tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
 Generasi Manajemen I
Sebutan : Jungle management = Manajemen berbuat (by doing)
Ciri Utama : Mengerjakan sendiri segala sesuatu (doing things by our self)
Sumber Kekuatan : Diri sendiri
Tipe Organisasi : Kepemilikan
Konsep Dasar : -
 Generasi Manajemen II
Sebutan : Manajemen kendali (by directing)
Ciri Utama : Mengerjakan sesuatu melalui orang lain (doing things through by the other people)
Sumber Kekuatan : Pemimpin
Tipe Organisasi : Feodal hirarkies/kepemilikan (step hierarchy)
Konsep Dasar : -
 Generasi Manajemen III
Sebutan : Manajemen hasil (by result)
Ciri Utama : Menggunakan target kuantitatif
Sumber Kekuatan : Pemimpin dan tim kerja
Tipe Organisasi : Struktural/ fungsional
Konsep Dasar : Pembagian kerja, interst pribadi, dan penghargaan untuk pekerjaan/tugas
 Generasi Manajemen IV
Sebutan : Manajemen kreativitas nilai (value craetive)
Ciri Utama : Menggunakan target kualitatif, kepuasan pelanggan atau pekerja
Sumber Kekuatan : Nilai-nilai yang disepakati bersama
Tipe Organisasi : Struktural/fungsional dengan modifikasi (komputerisasi)
Konsep Dasar : Pembagian manajerial, pemisahan pemilik dan manajer, pemisahan cara berpikir dan berbuat, dan otomatisasi
 Generasi Manajemen V
Sebutan : Manajemen pengetahuan dan jaringan antar manusia (knowladge and human networking)
Ciri Utama : Menggunakan keunggulan peroarangan dalam kerjasama (jaringan)
Sumber Kekuatan : Jaringan antar profesional
Tipe Organisasi : Jaringan antar manusia (human networking)
Konsep Dasar : Jaringan kelompok, proses kerja terintegrasi, pengaturan dan pemilihan waktu yang manusiawi, kesatuan fokus tugas/tim kerja sesuai dengan kondisi.
(Sumber: diolah dari Joiner, 1994; Savage, 1990)
Berkaitan dengan perkembangan pergeseran pendangan manajemen di atas, khususnya dari era industri akhir (Genarasi IV) ke era pengetahuan awal (Generasi V), Savage (1990:200) melihat adanya ciri penjenjangan yang tajam menuju pararelitas dalam konsep manajemen pada kedua generasi tersebut, yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Pergesaran Manajemen Generasi IV ke Generasi V
Beberaapa konsep manajemen pemberdayaan SDM yang berkembang sejak manajemen Generasi IV hingga Generasi V sekarang ini diantaranya adalah konsep manajemen multi budaya, organisasi pembelajaran, dan benchmarking. Pilihan-pilihan terhadap konsep-konsep manajemen tersebut, hendaknya selektif, terutama yang dapat disesuaikan dengan nilai-nilai budaya organisasi yang telah ada. Hal ini dimaksudkan agar konsep-konsep manajemen tersebut dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin bagi pencapaian tujuan organisasi.

1. Konsep Manajemen Multi Budaya

Makna manajemen multi budaya (pluralisme budaya) ialah upaya mengelola budaya yang berbeda-beda, memberdayakannya sehingga dapat meningkatkan kinerja suatu organisasi, baik secara internal maupun eksternal. Budaya dapat diartikan sebagai cipta, rasa, karsa/karya seseorang/kelompok, bangsa, organisasi, yang berarti ada keragaman nilai, baik secara individu, kelompok dalam organisasi bisnis maupun non profit.
Pemahaman manajemen multi budaya sangat penting, karena keragaman yang bersifat multi budaya dalam struktur dan komposisi angkatan kerja (personal), adanya perpaduan budaya organisasi yang berbeda (misalnya dalam kasus merger, kerja sama), kegiatan-kegiatan yang bersifat global, kegiatan-kegiatan dalam kawasan-kawasan baru yang terpadu, pluraslisme masyarakat dalam suatu negara, sehingga diperlukan suatu seni dan ilmu manajemen ke dalam konteks budaya. Keragaman budaya itu dapat saling mengenal, saling menghargai, sehingga tercapai kondisi simbiose metualistis alam keragaraman tersebut.
Esensi dari manejemen multi budaya terletak pada komunikasi, baik melalui kata-kata, benda material, maupun perilaku didasarkan pada imformasi yang sebaik mungkin tentang keragaman budaya tersebut (Hall & Hall, 1987 dalam Elashmawi & Haris, 1999:4-27).
Sejak berkomunikasi antar personal apakah kegiatan bisnis atau keperluan lainnya (seperti misalnya berjabat tangan, pembicaraan telepon, negosiasi, seminar, pelatihan, berunding, rapat dan lainnya), sebenarnya telah terjadi tantang budaya, yang hanya uskses kalu pihak-pihak yang berkomunikasi sadar, mengerti serta hormat terhadap nilai dan perbedaan orang lain, kelompok lain, suku atau bangsa lain. Lebih lanjut, menghargai keragaman budaya, berarti menghargai nilai-nilai budaya (sendiri atau pihak lain), lebih-lebih prioritas nilai budaya yang diutamakan, serta menjalin komunikasi lintas budaya.
Pentingnya peranan komunikasi dalam manajemen multi budaya, maka perlu direkayasa model-model komunikasi yang sesuai dengan kasus-kasus yang dihadapi. Di bawah ini adalah contoh model komunikasi multi budaya, seperti diragakan oleh gambar berikut:
Model Kepercayaan, Nilai dan Komunikasi Multi Budaya
kehidupan sosial, pemerintahan dan lainnya) dipengaruhi sistem kepercayaan, juga oleh nilai-nilai yang dianutnya dan diberi ganjaran (imbalan). Jika seorang pemimpin (misalnya orang Jepang) bekerja di Amerika, melaksanakan nilai-nilai Jepang seperti keselarasan kelompok, senioritas, status, sebagai nilai di tengah orang-orang Amerika, tentulah menimbulkan kesulitan karena ia dipaksa melawan sistem kemandirian, keterbukaan, langsung dan ambil resiko, sebagai nilai-nilai yang berlaku di Amerika. Demikian halnya jika nilai-nilai Amerika ke sistem nilai yang berlaku di Jepang, akan terjadi hal yang serupa, nyaris gagal.
Untuk itu, model di atas perlu dilanjutkan dengan membangun kepekaan budaya, disebut model kesenangan/kepuasan (happy/satisfied), seperti diragakan pada gambar berikut:
Model Kesenangan/Kepuasan
Berkomunikasi dengan orang Jepang misalnya, Fase I sangat dihargai, biasanya memakan waktu lama, karena orang Jepang akan mendengarkan, melihat, merasakan pikiran-pikiran mitra asing mereka, lebih dari sekedar hanya menjawab langsung, mereka sangat antusias. Barulah mereka ambil bagian pada Fase II, sedangkan Fase III sudah tinggal meluruskan apa yang disepakati pada Fase II, sehingga Fase IV tinggal dijalankan dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya orang Amerika, cenderung kurang suka berlama-lama pada Fase I, tapi langsung ke Fase II dan seterusnya. Kalau ke dua nilai budaya itu tidak saling menghargai, biasanya yang terjadi adalah kegagalan, karena kekurangmampuan membangun kepekaan budaya.


2. Konsep Learning Organization

Pengertian pembelajaran dalam bahasa Cina terdiri dari dua simbol “belajar” yang berarti “mengakumulasikan ilmu pengetahuan” dan simbol “memperaktekan terus menurus”, sehingga pembelajaran bermakna “pengusaaan cara pengembangan diri”. Dalam bahasa Indo – Eropa berasal dari kata “lies” yang berarti jalur atau alur, sehingga belajar diartikan “mendapatkan pengetahuan dengan mengikuti suatu jalur yang sifatnya seumur hidup”. Kiranya kalau disimpulkan menjadi : “upaya untuk menguasai cara pengembangan diri seumur hidup”. (Senge, Ross, Smith & Kleiner, 2001:60-61).
Dengan demikian organisasi pembelajaran merupakan suatu kegiatan berorganisasi (lazimnya dalam bentuk kelompok) untuk meningkatkan penguasaan ilmu, keterampilan, profesionalisme, dan bidang-bidang lainnya, yang sifatnya berkelanjutan. Kurang lebih mirip keizen, hanya saja organisasi pembelajaran meliputi ruang lingkup yang beraneka ragam.
Peter Senge (1990) mengetengahkan konsep learning organization dengan lima prinsip disiplin belajar (yang disebut “the fifth discipline”). Kelima prinsip tersebut bekerja secara bersama sarna dan merupakan suatu sistem. Kontribusi setiap disiplin akan tampak pada proses learning itu sendiri secara berang¬kaian. Pembahasan singkat kelima disiplin disampaikan sebagai berikut:
1. Personal Mastery, merupakan kegiatan belajar yang untuk memperbesar kapasitas pribadi. Setiap orang hingga dapat menciptakan hasil yang paling diinginkan, dan menciptakan ling-kungan organisasi yang mendorong ke arah yang lebih berani dari para ang¬gotanya untuk mengembangkan diri menuju maksud dan tujuan yang dipi¬lihnya. Kegiatan yang dilakukan tidak hanya berwujud pendidikan, pelatihan dan pengembangan. Namun termasuk bagaimana kita membawa pengetahuan ke dalam organisasi dan menggunakan kreativitas untuk menjaga individu dan organisasi mendengarkan, mengetahui dan melakukan perubahan keadaan lingkungan (Garvin, 1993).
2. Mental Model, merupakan refleksi dari adanya kesinambungan peningkatan pengetahuan yang meraperjelas gam¬baran internal tentang dirinya di dalam dunia. Gambaran ini diangkat ke per¬mukaan, ditunjukkan dan akan menjadi pengetahuan eksplisit (explicit know-ledge), juga memperlihatkan bagaimana actions dan decisions dapat ditampilkan. Mental model ini dimiliki oleh setiap individu anggota organisasi. Karenanya organisasi dapat memanfaatkan mental model yang menggunakan kesadaran orang untuk membaca realitas sosial. Garvin (1993), mengatakan bahwa dengan menggunakan mental model, kita akan mendapatkan kondisi organisasi yang seluruh analisisnya diwarnai oleh mental model anggota organisasi yang siap menyampaikan gagasan secara obyektif dan sekaligus membuat pikiran secara terbuka serta dapat menerima pemikiran orang lain.
3. Shared Vision, menyediakan basis untuk berpikir secara umum guna mem¬buat komitmen, sehingga shared vision ini penting untuk menghasilkan fokus dan energi dalam learning (Garvin, 1993). Shared vision dapat digunakan untuk menggalang “a sense of commit¬ment” kelompok, dengan cara mengembangkan image masing masing ang¬gotanya secara bersama tentang masa depan yang dicari dan akan diciptakan. Hal tersebut diraih dengan melalui prinsip prinsip serta praktek kegiatan¬-kegiatan yang terarah serta menghindari adanya pembangkangan dari para anggota organisasi agar tujuan yang diinginkan dapat diraih.
4. Team Learning, merupakan suatu metode untuk mengharmonisasikan kekuatan individu secara umum, untuk mengarah pada suatu visi bersama (Garvin, 1993). Kegiatan ini merupakan proses transformasi konversasional disertai ketrampilan berpikir kolektif, sehingga kelompok learning ini tampil meyakinkan untuk dapat mengem¬bangkan intelejensia serta kemampuan dan bakat yang lebih besar dari sejumlah anggota tim secara individual. Team learning dapat mengembangkan pola-¬pola interaksi yang baik, mengurangi pola pola interaksi yang bersifat defensif atau pola pola interaksi yang tidak dipahami. Lebih jauh, team learning ini akan mengembangkan pola interaksi yang bersifat dialog, tidak saling mene¬kan dan memahami setiap pemikiran anggota organisasi.
5. System Thinking, merupakan sesuatu yang membuat seluruh tipe learning bekerja dalam harmoni. Ini merupakan suatu cara berpikir tentang keseluruhan (holistic), dan suatu bahasa untuk dimengerti dan dijelaskan. Juga meru¬pakan kerangka kerja konseptual, menggambarkan sosok pengetahuan dan analisis yang dapat memudahkan kita untuk memahami semua pola pola interaksi dalam suatu sistem. Sistem ini mengindikasikan adanya berbagai keku¬atan dan interelasi yang membentuk perilaku sistem. Disiplin ini menolong kita agar dapat melihat bagaimana sistem itu dapat berubah dan melakukan perubahan ke arah yang lebih efektif (Garvin, 1993). Di samping itu, system thinking dapat digunakan untuk meng¬ambil langkah yang lebih serasi dengan berbagai proses yang lebih luas secara alami dalam. dunia ekonomi.
Masing masing disiplin tersebut semes¬tinya dipelajari lebih mendalam oleh para pemimpin. Namun dalam bahasan Peter Scnge, setiap disiplin itu bukan hanya merupakan subyek studi saja, tetapi juga sebagai a body of technique, yang didasari oleh teori dan pengertian tentang dunia yang harus dikuasai dan dipraktekkan. Oleh karena itu bahasan Learning Organization juga dikatakan sebagai bahasan “a whole of system”.
Hakikat dari organisasi pembelajaran adalah siklus dari keahlian dan kemampuan-kesadaran-dan kepekaan-sikap dan keyakinan dari seluruh (wilayah) perubahan yang langgeng (siklus belajar yang dalam). Secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut:
Hakikat Organisasi Pembelajaran

Kita “melihat” sesuatu yang baru dari sebelumnya (kesadaran dan kepekaan baru), yang selanjutnya bergeser ke dalam sikap dan keyakinan baru. Seseorang dapat meletakkan dirinya dengan baik dalam kebersamaan, memecahkan masalah bersama, berpikir sistem, sehingga didapatkan solusi permasalahaan yang objektif. Demikian seterusnya, jika organisasi pembelajaran ini terus berjalan, karena situasi lingkungan yang terus berubah menghendaki proses yang serupa, terus berkembang secara bertahap. Dengan cara demikian, organisasi yang dikendalikan orang-orang yang terlibat dalam organisasi pembelajaran, akan terus mampu bersaing (untuk dunia bisnis) atau mampu memberikan pelayanan publik yang baik (untuk organisasi publik).
Pengorganisasian organisasi pembelajaran yang melibatkan semua yang terlibat dalam disiplin pembelajaran yang berkelanjutan, terdiri dari gagasan penuntun-teori, metoda dan alat-alat yang dipergunakan-inovasi dalam infrastrukturnya. Secara sederhana digambarkan sebagai berikut:
Struktur Bangunan (Arsitektur) Organisasi Pembelajaran
artinya jika ingin dibangun organisasi pembelajaran, haruslah berfokus pada tiga unsur yakni: gagasan penuntun, teori, metode dan alat-alat, serta inovasi dalam infrastruktur.
Gagasan penuntun berisi tujuan mengapa dilakukan organisasi pembelajaran (misalnya memperbaiki mutu manajemen). Gagasan penuntun harus jelas, menantang, sehingga menimbulkan keinginan dan gairah dari semua yang berpartisipasi di dalamnya. Gagasan penuntun yang baik, pada dasarnya merupakan perumusan dari tiga hal yakni upaya untuk unggul secara utuh, dalam suasana kebersamaan sesuai dengan misi organisasi dan di rangkum dalam bahasa yang lugas dan jelas serta menantang.
Teori, metode dan alat-alat adalah esensi materi pembelajaran yang berisi gagasan-gagasan, metode-metode dan alat-alat analisisnya.
Inovasi infrastruktur adalah dukungan sumber daya, sehingga proses organisasi pembelajaran, berjalan lancar, meliputi: dukungan pimpinan waktu, dana, informasi/data, para pendukung (pakar, praktisi, mitra), komunikasi, transportasi, akomodasi dan lainnya.
Ketiga subsistem organisasi pembelajaran ini harus terintegrasi dengan baik dalam arsitektur pengorganisasian yang baik pula.
Kinerja dari organisasi pembelajaran adalah “hasil” dari seluruh porses organisasi pembelajaran itu sendiri, sesuai dengan tujuannya yakni, mencakup lima disiplin dari tugas organisasi ipembelajaran yakni peningkatan kualitas (keahlian pribadi), menciptakan model mental yang mampu menanggapi lingkungan, membangun visi bersama, meningkatkan terus kinerja tim (kelompok dan organisasi) atau pembelajaran tim, serta cara berpikir yang komprehensif integral (berfikir sistem).
Secara keseluruhan seluruh upaya organisasi pembelajaran dapat digambarkan sebagai berikut:
Kinerja Organisasi Pembelajaran
organisasi pembelajaran menganut model sistem, sehingga siklusnya terus berlanjut, dimana antara input (berupa kondisi yang menuntut perubahan) - proses (langkah-langkah awal berupa konsepsi tentang kualitas yang diproyeksikan dan diproses dalam arsitektur organisasional) dan hasil (output) berupa perbaikan kualitas SDM yang menyangkut 5 disiplin organisasi pembelajaran. Output disini adalah state of mind yang diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menghadapi tantangan dan peluang berikutnya (kinerja organisasi yang menjadi lebih baik sebagai wahana yang kondusif untuk menumbuhkan keunggulan kompetitif), dalam dunia usaha maupun pelayanan publik yang (relatif) prima bagi organisasi publik.
3. Konsep Benchmarking

Istilah lain dari brenchmarking adalah patok duga, meniru dengan memodifikasi (imitation with modification). Berikut beberapa rumusan pengertian brenchmarking, antara lain:
 Benchmarking is a continous, systematic process for evaluating the product, services, and work processes of organizations that are recognized as representing best practices, for the purpose of organizational improvement (Spendolini, 1992 dalam Nisjar S & Winardi, 1997:178).
 Patok duga adalah suatu proses belajar yang berlangsung secara sistematik dan terus menerus diman setiap bagian dari perusahaan dibandingkan dengan perusahaan yang terbaik atau pesaing yang paling unggul (Teddy Prawira dalam Tjiptono & Diana, 2001:233).
 Benchmarking dapat dirumuskan sebagai aktivitas imitation with modification, dimana didalam istilah modification sudah terkandung makna improvement (Nisjar S & Winardi, 1997:178).
Dari beberapa rumusan pengertian benchmarking di atas, dapat dirangkum beberapa hal penting berikut:
1. Tujuan utama benchmarking adalah menemukan kunci atau rahasia sukses dan kemudian mengadaptasi dan memperbaikinya untuk diterapkan pada perusahaan (organisasi) yang melaknsanakan benchmarking tersebut.
2. Benchmarking bersifat legal, paling tidak melibatkan dua perusahaan (organisasi) yang sebelumnya telah sepakat untuk membagi informasi mengenai proses (legalitas ini diikat dalam etika benchmarking) yang diatur dan bersumber dari International Benchmarking Clearinghouse/IBC).
3. Perlu persiapan fisik dan mental untuk melaksanakan benchmarking kerena merupakan proses yang cukup panjang dan berat, diharapkan produk akhirnya yang unggul, sehingga mempunyai keunggulan kompetitif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar