Rabu, 05 Januari 2011

persaingan bebas

Adanya lembaga persaingan bebas itu penting karena ia mengatur suatu ekonomi pasar yang bertujuan melindungi konsumen terhadap penentuan harga yang sewenang-wenang. Selain itu, pengaturan ini juga melindungi lembaga demokrasi dari bahaya yang mengancam akibat adanya konsentrasi kekayaan yang sangat berlebihan di tangan segelintir perusahaan yang punya monopoli usaha. Hal terakhir inilah yang ingin kita rombak melalui reformasi di bidang ekonomi.
Namun peraturan antimonopoli bukanlah satu-satunya cara untuk melindungi konsumen. Peraturan yang melindungi konsumen antara lain adalah perlindungan terhadap promosi atau pengiklanan yang tidak benar atau palsu (false advertising). Sebaliknya, di samping peraturan yang melindungi konsumen, peraturan yang melindungi sesama pengusaha juga diperlukan. Nah, peraturan yang melindungi konsumen tadi, pada gilirannya, juga melindungi pengusaha yang jujur. Sebab, melalui promosi yang palsu, pada dasarnya telah terjadi sebuah persaingan curang (unfair competition).
Yang termasuk dalam persaingan curang misalnya adalah pelanggaran atas hak cipta, paten, dan merk dagang. Pelanggaran ini tidak saja merugikan konsumen (yang tertipu), tetapi juga merupakan "pemilikan secara curang" atas hak pengusaha lain. Kecurangan itu juga dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan kesenian dalam masyarakat kita (karena akan menghambat kreativitas).
Cara-cara curang yang dilakukan oleh para pengusaha di atas harus masuk dalam pengertian korupsi karena ia telah merusak "budaya bisnis" yang sehat. Dan, pada akhirnya, para pengusaha curang itu--untuk melindungi dirinya--dapat "berkolusi" dengan birokrasi pemerintahan yang mengatur perdagangan. Pelanggaran terhadap aturan-aturan hukum yang ditujukan untuk menciptakan perdagangan yang sehat--yang pada dasarnya akan melindungi konsumen supaya memperoleh barang baik dengan harga yang wajar--harus dikenai sanksi agar aturannya efektif.
Memang, penegakan hukum terhadap perusahaan pasti tidak mudah. Beberapa hal yang mungkin menghambat bisa kita antisipasi sejak awal, misalnya: (1) bahan pustaka yurisprudensi Indonesia yang kurang, akan menimbulkan berbagai macam interpretasi hukum yang dapat mengurangi kepastian hukum; (2) agar sanksi pidana efektif, tuduhan dan tuntutan tidak saja harus ditujukan kepada pengurus perusahaan, tetapi juga harus dapat dilakukan terhadap perusahaannya (korporasi); dan (3) kebiasaan pembentukan konglomerasi di Indonesia dapat menyulitkan pemantauan dan pengawasan bahwa telah terjadi kegiatan usaha yang oleh hukum dapat ditafsirkan sebagai kegiatan usaha monopoli atau persaingan curang.
Karena itu pula, mengingat luasnya lingkup pengertian usaha yang bersifat monopoli ataupun persaingan curang di luar negeri, diperlukan lembaga khusus dengan tenaga ahli di bidang hukum persaingan (competition law). Di Amerika Serikat, dengan Sherman Antitrust Law (mulai 1890) yang kemudian diperbarui dengan Federal Trade Commission Act, atau di Jerman dengan Gesetz gegen Wettbewerbsbeschraenkungen (GBW) dan Federal Cartel Office (FCO), telah terbentuk suatu sistem hukum persaingan yang sangat rumit.
Tak mengherankan jika hukum persaingan ini kemudian menjadi suatu bidang hukum yang sangat khusus, dengan ahli-ahlinya di perguruan tinggi, di praktek hukum (advokat dan konsultan hukum), di pengadilan (hakim), dan juga dalam birokrasi pemerintahan serta kejaksaan. Dengan adanya pengadilan niaga di Indonesia, yang akan menangani kasus hukum di bidang hukum persaingan ini, kita akan bergerak di bidang hukum perdata.
Namun, dalam penegakan peraturan itu, akan diperlukan pula bantuan sanksi hukum pidana. Adanya tenaga-tenaga ahli di kepolisian dan kejaksaan perlu diperhatikan, di samping adanya hakim-hakim untuk kasus pidana di pengadilan negeri. Sebab, ketiadaan ahli ini akan dapat mengakibatkan peraturan di bidang monopoli dan persaingan curang tadi akhirnya tidak dapat ditegakkan (dead letter law). Atau, sebaliknya, menjadi begitu menakutkan bagi para pengusaha karena kesewenang-wenangan (arbitrary law) di tangan para penegak hukum.
ANYAK di antara kita terpaku pada bapak pasar bebas dan persaingan bebas,
sekaligus sebagai bapak ilmu ekonomi, Adam Smith (1723-1790), dengan bukunya An
Inquiry into Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776). Menurutnya,
pasar bebas berdasar kebebasan inisiatif partikelir (freedom of private
initiative) akan melahirkan efisiensi ekonomi maksimal melalui pengaturan
"tangan tak tampak" (invisible hand).

Pengaturan oleh "tangan tak tampak" adalah pengaturan melalui mekanisme bebas
permintaan dan penawaran, atau mekanisme pasar bebas berdasar free private
enterprise, yang oleh Paul Samuelson, pemenang hadiah Nobel bidang Ekonomi
(1970), disebut competitive private-property capitalism.

Para ekonom meyakini keabsahan teori Adam Smith ini. Di Indonesia, topik pasar
bebas dan persaingan bebas sebagai bentuk pasar ideal terpampang resmi dalam
silabus Pengantar Ilmu Ekonomi sebagai academic blue-print dari konsorsium ilmu
ekonomi. Topik ini merupakan bagian dari kuliah wajib yang harus diikuti oleh
mahasiswa di fakultas ekonomi di Indonesia yang menganut sistem demokrasi
ekonomi.

Dalam bidang ekonomi, reformasi tidak mencapai hasil karena keengganan
mengoreksi kebijakan dan strategi yang keliru, termasuk teori yang
mendasarinya. Para teknokrat bersikukuh tidak ada yang salah dalam teori
ekonomi yang diacu untuk menyusun kebijakan. Menurut mereka, yang salah adalah
pelaksanaannya.

Tak ayal, pemenang hadiah Nobel bidang ekonomi (2001), Joseph E Stiglitz,
secara tegas menyatakan, "Textbook economics may be fine for teaching students,
but not for advising governments... since typical American style textbook
relies so heavily on a particular intellectual tradition, the neoclassical
model." (Chang Ha-Joon, Stiglitz and the World Bank: The Rebel Within,
2001:130).
Tiga ciri pasar persaingan sempurna (perfect competition), bebas keluar/masuk
(free entry/free exit), jumlah besar (large number), dan produk homogen
(homogeneous product), telah dihafal oleh mereka yang mempelajari ilmu ekonomi
tanpa menyadari bahwa dalam free entry/free exit terkandung paradigma
liberalisme-yang dalam tata pi-kir Indonesia tidak sesuai dengan hakikat
Demokrasi Ekonomi.

Free entry yang berarti bebas masuk kegiatan usaha apa pun berarti bebas
menggusur yang lain dengan daya saingnya yang lebih tangguh dan unggul,
sedangkan free exit berarti terpaksa exit (bangkrut atau kalah bersaing).

Teori pasar dengan persaingan sempurna dikembangkan secara fantastis. Distorsi
pasar, baik teknis, kelembagaan, maupun sosio-kultural, oleh text-book
diasumsikan tidak ada; yang dikatakan sebagai alasannya ialah for the sake of
simplicity.

Pengembangan teori berjalan berdasar validitas teoretikal, yakni asumsi di atas
asumsi dan aksioma di atas aksioma. Padahal paradigma seperti yang dikemukakan
oleh ekonom dari Inggris, Joan Robinson (1903-1983), telah mengelabui kita
dalam pengembangan teori ekonomi.

Teori yang ada dapat saja berkembang konvergen, tetapi bisa semakin divergen
terhadap realitas. Para pengabdi ilmu-yang belum tentu adalah pengabdi
masyarakat-dapat saja terjebak ke dalam divergensi ini.

Banyak ekonom dan para analis moneter menjadi simplistis mempertahankan ilmu
ekonomi Barat ini dengan mengatakan bahwa kapitalisme telah terbukti menang,
sedangkan sosialisme telah kalah telak.

Pandangan yang penuh mediokriti ini mengabaikan proses dan hakikat perubahan
yang terjadi, mencampuradukkan antara validitas teori, viability sistem
ekonomi, kepentingan dan ideologi (cita-cita), serta pragmatisme berpikir.

Adam Smith kelewat yakin akan kekuatan persaingan. Teori ekonominya (teori
pasar berdasar hipotesis pasar bebas dan persaingan sempurna), sempat mendikte
umat manusia sejagat dalam abad ini untuk terus "bermimpi" tentang kehadiran
pasar sempurna.

Lalu lahirlah berbagai kebijakan ekonomi, baik nasional maupun global,
berdasarkan pada teori pasar bebas dan persaingan sempurna. Teori imajiner yang
dikemukakan oleh Adam Smith hingga kini dianut sebagai "pedoman moral" demi
menjamin kepentingan tersembunyi para partikelir.
Keprihatinan pada pasar bebas dan persaingan sempurna menemukan momentumnya
ketika beberapa negara di Asia dilanda krisis moneter (1997). Krisis moneter
ini menyadarkan kita dari "mimpi" Adam Smith bahwa teori pasar bebas berdasar
freedom of private initiative dan globalisasi sesungguhnya tidak bekerja untuk
menciptakan stabilitas ekonomi global. Sebaliknya, kebijakan globalisasi
cenderung menjadi momok bagi negara berkembang.

Bagi sebagian orang, ada jawaban yang mudah: tinggalkan globalisasi. Tetapi hal
ini tidaklah mungkin, sebab globalisasi juga membawa sejumlah
manfaat-keberhasilan Asia Timur didasarkan pada globalisasi, khususnya peluang
perdagangan dan meningkatnya akses ke pasar global serta sains dan teknologi.

Masalahnya bukan pada globalisasi itu sendiri, tetapi bagaimana globalisasi
tersebut dikelola secara wajar dan fair. Lebih lanjut, Joseph E Stiglitz
melalui bukunya Globalization and Its Discontents (2002) menegaskan bahwa
sebagian besar permasalahan ada pada lembaga ekonomi dunia seperti IMF, Bank
Dunia, dan WTO.

Lembaga inilah yang membantu membuat aturan mainnya (berdasarkan kepentingan
dan ideologi politiknya). Mereka melakukannya dengan cara yang acap kali
mendahulukan ke- pentingan negara industri maju daripada negara berkembang.

Upaya IMF yang kurang berhasil pada tahun 1990-an menimbulkan pertanyaan
mendasar mengenai cara lembaga restrukturisasi finansial dunia ini memandang
globalisasi sebagai bagian dari misinya. IMF, misalnya, yakin bahwa ia telah
menjalankan tugasnya, yakni mendorong stabilitas global serta membantu negara
berkembang yang sedang dalam transisi untuk mencapai stabilitas dan pertumbuhan
ekonomi.

Namun, berbagai pihak menilai bahwa IMF telah gagal dalam misinya. Kegagalan
tersebut bukan hanya kebetulan, namun sebagai akibat dari pemahaman terhadap
misinya yang keliru (baca: salah).

Ucapan Presiden General Motors (GM), Charles E Wilson, "Apa yang baik untuk GM
adalah baik untuk negeri ini," menjadi simbol kapitalisme Amerika Serikat.


IMF juga memiliki cara pandang yang sama: "apa yang dipandang baik oleh
komunitas keuangan global adalah baik untuk perekonomian global dan harus
dilakukan."

Dalam beberapa hal benar, tetapi dalam banyak hal tidaklah demikian. Pada sisi
lain, apa yang dianggap komunitas global sebagai kepentingannya sebenarnya
tidak demikian karena ideologi pasar bebas telah menutupi pemikiran yang jernih
tentang bagaimana cara terbaik mengatasi penyakit ekonomi.

Ada konsistensi logika dalam konsepsi John Maynard Keynes (1883-1946),
godfather intelektualnya IMF, mengenai IMF dan perannya. Keynes
mengidentifikasi kegagalan pasar-yang merupakan alasan mengapa pasar tidak bisa
dibiarkan berjalan sendiri-dapat diperbaiki melalui tindakan kolektif berskala
global. Kegagalan pasar lainnya, dalam krisis yang buruk kebijakan moneter
dapat tidak efektif seperti krisis yang melanda Indonesia pada 1997/1998.

Keynes tidak hanya mengidentifikasi sejumlah kegagalan pasar, namun juga
menjelaskan mengapa sebuah lembaga seperti IMF dapat mengatasi masalah. Cara
yang ditempuh IMF ialah dengan menekan pemerintah untuk mempertahankan
perekonomiannya pada tingkat kesempatan kerja penuh.

Dalam hal ini IMF juga memberikan bantuan likuiditas bagi negara yang mengalami
krisis dan tidak mampu melakukan kenaikan yang signifikan dalam pengeluaran
pemerintah, sehingga aggregate demand secara global dapat ditopang.

Berdasarkan pada perspektif ekonomi mikro, munculnya pandangan yang menghendaki
Indonesia segera melepaskan diri dari perikatannya dengan IMF. Pandangan ini
didasarkan pada anggapan bahwa kelanjutan ikatan dengan lembaga ini hanya akan
merugikan Indonesia. Ketika krisis moneter melanda Indonesia (1997/ 1998), kita
terpaksa menjadi pasien IMF-yang kemudian menimbulkan kontroversi dalam
masyarakat.

Bahwa manfaat yang diberikan perikatan dengan IMF tersebut, jauh lebih kecil
dari kerugian yang akan diderita bangsa Indonesia bersama generasi selanjutnya.
Selain terjadi ketergantungan semakin kuat kepada lembaga keuangan ini, ekonomi
Indonesia ternyata berkembang ke arah yang salah-satu hal yang secara
simplistis sesungguhnya pernah diakui oleh petinggi IMF sendiri-di samping
menjadikan Indonesia sebagai negara pengutang terbesar di dunia.

Tetapi sekarang ini para fundamentalis pasar yang mendominasi IMF percaya,
bahwa pasar pada umumnya berjalan dengan baik dan pemerintah pada umumnya
berjalan dengan sangat buruk. Inkonsistensi di tubuh IMF bermasalah bila
dipandang dari perspektif kemajuan teori ekonomi dalam tiga dasawarsa terakhir.
Profesi ekonomi telah mengembangkan sebuah pendekatan yang sistematik terhadap
"teori kegagalan pasar akibat tindakan pemerintah" ini.
da aspek lain yang lebih penting dalam pembedaan antara ex ante dan ex post,
yakni membedakan perubahan "terantisipasi" dengan perubahan yang "tidak
terantisipasi." Karena itu, pembentukan ekspektasi dalam ketidakpastian dapat
dibagi atas dua bagian, yaitu ex ante (penghitungan awal suatu periode) dan ex
post (penghitungan pada akhir periode).

Namun yang terpenting pada semua pendekatan dalam teori ekonomi yang mengandung
unsur ketidakpastian juga terbagi atas dua kelompok, yakni pendekatan ex ante
yang menerangkan bagaimana ekspektasi menentukan besaran variabel ekonomi serta
pendekatan ex ante dan ex post yang sekaligus menjelaskan perbedaan antara
harapan dan kenyataan.

Dengan mengusung teori Myrdal ini timbul pertanyaan di hadapan kita demikian:
apakah pasar bebas dalam globalisasi memiliki aspek lain yang lebih penting
dalam pembedaan antara ex ante dan ex post, yakni perbedaan antara harapan dan
kenyata- an

Tidak ada komentar:

Posting Komentar