Jumat, 07 Januari 2011

persaingan manajemen

Keberhasilan bisnis salah satunya ditentukan oleh kemampuan memahami pesaing. Output dari kemampuan tersebut, menopang manajemen dalam memutuskan dimana akan bersaing dan bagaimana posisi diantara pesaing. Demikian karena, analisis dilakukan dengan cara identifikasi industri dan karakteristiknya, identifikasi bisnis di dalam industri, kemudian masing-masing bisnis pun dievaluasi, prediksi aktifitas pesaing termasuk identifikasi pesaing baru yang mungkin menerobos pasar maupun segmen pasar.
Persaingan dalam keberadaannya berlangsung pada berbagai jenis. Persaingan antar merek, persaingan antar jenis produk, persaingan natar kebutuhan generik yang tercipta karena kelangkaan sumber daya dimana variasi geografis pun terjadi. Pemahaman terhadap jenis-jenis persaingan tersebut, merupakan suatu kemampuan.
Analisis persaingan bersifat dinamis. Pesaing dideskripsikan dan dianalisis, pesaing di evaluasi, serta kemudian tindakan pesaing pun diprediksi secara tepat. Yang dimaksud pesaing termasuk didalamnya pesaing baru yang berpeluang mengacungkan jari telunjuk sebagai tanda kehadiran. Analisis persaingan merupakan aktifitas yang terus menerus dan memerlukan koordinasi informasi. Bisnis dan unit bisnis menganalisis pesaing dapat dengan cara menggunakan sistem intelejen pesaing.Untuk kepentingan itu, beberapa teknik dilakukan seperti pencarian database, survey konsumen, wawancara dengan pemasok serta partisipan lainnya yang sesuai, perekrutan karyawan pesaing termasuk mempelajari produk pesaing. Setiap teknik yang telah dikemukakan, tampak didalamnya mengandung unsur titik kedinamisan

Lebih lanjut tentang: Analisis Persaingan
Hubungan antara kemampuan ekonomi dan kekuatan merupakan kenyataan lama yang baru disadari. Ekonomi, meski terus disadari sebagai sebuah elemen kekuatan, namun seringkali ditempatkan pada prioritas kedua maupun ketiga suatu negara. Setidaknya hal itu terlihat hingga masa pasca Perang Dunia II, seperti yang dijelaskan Daniel S. Papp dalam bukunya. Beberapa hal dalam tatanan dunia internasional yang terbentuk setelah PD II menjadi hal utama yang menyebabkan hal itu. Namun, sejak awal tahun 1990-an, ekonomi sebagai suatu elemen kekuatan, mulai ditempatkan sebagai prioritas utama oleh sebagian besar aktor internasional. Hal tersebut disebabkan dinamika dan perubahan yang terjadi dalam dunia internasional yang menunjukkan pentingnya kemampuan ekonomi, yaitu berakhirnya dominasi AS dalam perekonomian global diiringi meningkatnya kemampuan ekonomi sejumlah negara, jatuhnya US, dan meningkatnya daya tawar negara – negara yang kaya akan minyak.
Terdapat lima level untuk melakukan pendekatan analisis bagaimana aktor – aktor internasional terlibat dalam sistem ekonomi internasional, yaitu kemampuan ekonomi internal dari suatu aktor yang akan menentukan seberapa kuat aktor tersebut dalam persaingan internasional yang akhirnya akan menentukan seberapa jauh aktor tersebut terlibat dalam sistem ekonomi internasional, perdagangan internasional yang semakin mengarah pada perdagangan bebas dengan teori comparative advantages oleh David Ricardo dan segala bentuk resistensi berkaitan dengan perdagangan bebas tersebut, kebijakan moneter internasional mengenai nilai pertukaran mata uang antar negara (fixed exchange rate maupun floating exchange rate), ranah finansial internasional mengenai mobilitas uang antar negara untuk tujuan investasi, perdagangan, dan akumulasi kapital (modal) di mana kebanyakan bagian dunia sudah menjadi satu pasar finansial yang terintegrasi, dan ketiga subsistem ekonomi global (subsistem fungsi antar negara – negara maju, antara negara – negara maju dan negara – negara berkembang, dan antar negara berkembang).
Lebih lanjut, Papp juga menjelaskan mengenai dinamika sistem ekonomi internasional pasca PD II. Dimulai dari dibentuknya sistem Bretton Woods untuk membentuk struktur finansial internasional yang didasarkan pada nilai tukar yang tetap (fixed exchange rates) dan organisasi yang menyertainya (IMF dan IBRD), krisis yang dialami sistem Bretton Woods karena defisit belance-of-payment besar – besaran yang dialami Eropa sehingga AS melakukan langkah – langkah intervensi dengan menciptakan defisit pada balance-of-payment AS sendiri sehingga semakin banyak mata uang dolar yang berada di luar negeri, melemahnya sistem Bretton Woods karena membanjirnya dollar AS di luar negeri dan cadangan emas AS sendiri sudah sangat menipis sehingga memicu penukaran dollar menjadi emas secara besar – besaran, kebijakan lanjutan AS yang membuat dollar AS menjadi inkonvertibel terhadap emas dan melambungnya harga minyak melalui kebijakan OPEC pada tahun 1973, serta sifat anarki dan interdependensi dalam penentuan nilai tukar, mobilitas kapital, perdagangan, dan hubungan antara negara – negara berkembang dan negara – negara maju. Dinamika yang terjadi inilah yang akhirnya membuat ekonomi menjadi prioritas utama sebagai power.
Sistem ekonomi yang terjadi saat ini lebih bersifat interdependen. Sifat anarki yang ada perlahan – lahan berusaha dikikis untuk mengembangkan sistem ekonomi internasional secara keseluruhan, seperti yang diargumenkan Papp. Sistem ekonomi baru ditandai dengan meningkatnya area – area perdagangan bebas, munculnya WTO yang dimaksudkan untuk mengurangi proteksionisme, kelanjutan pertemuan G-7, dan munculnya negara – negara industri baru (Newly industrializing countries/ NICs) dan negara – negara yang berpotensi menjadi pasar besar AS (big emerging markets/ BEMs).
Ada beberapa poin yang harus diamati mengenai perdagangan bebas dan interdependensi. Teori comparative advamtages dari David Ricardo menjadi dasar ideal dari perdagangan bebas, di mana suatu negara harus menciptakan suatu produk yang dibutuhkan negara lain, dan negara lain memproduksi hal yang dibutuhkan negara itu, sehingga negara – negara tersebut menjadi saling membutuhkan satu sama lain. Papp menjelaskan bahwa menjelaskan bahwa kelompok yang mendukung perdagangan bebas berargumen bahwa perdagangan bebas akan meningkatkan mutual dpendence yang akan menuntun pada interdepedensi. Hal ini, menurut mereka, akan menuntun pada harmoni dan perdamaian, karena masing – masing negara akan menahan diri untuk melakukan sesuatu, terutama intervensi militer, yang bisa mebuat mereka kehilangan akses pada resource yang mereka butuhkan dari negara lain yang biasa mereka peropleh melalui perdagangan internasional. R.J. Barry Jones menerangkan dalam bukunya bahwa ”interdependence exists for a set of two or more actors when each is dependent upon one other member of that set for satisfactory outcomes on any issue(s) of concern”.[1] Interdependensi merupakan ketergantungan yang timbal balik, A membutuhkan B, dan B membutuhkan A. Dalam ekonomi internasional, interdependensi ini mudah dilihat dari ketergantungan suatu negara terhadap produk atau resource dari negara lain untuk kegiatan perekonomiannya sendiri.
Proposisi demikian (perdagangan bebas akan mewujudkan interdependensi) juga disebutkan sebagai pembelaan kaum liberalis klasik terhadap perdagangan bebas dalam buku Jones tersebut. Menurut mereka, bukan hanya efisiensi yang dapat diperoleh dari pasar internasional, namun juga sebuah kesempatan untuk menstimulasi sebuah level interdependensi dalam perekonomian yang baru dan dapat mempromosikan sebuah kepentingan mutual.[2] Suatu kondisi di mana perdagangan dapat dengan bebas dilakukan akan memperkuat integrasi ekonomi antar negara tersebut menjadi suatu pasar yang besar. Perdagangan bebas ini, hanya dapat dilakukan dengan meminimalisir intervensi negara pada pasar, yang biasa dilakukan dengan berbagai kebijakan proteksionis dan tarif. Para pembela pasar bebas berpendapat bahwa kebijakan – kebijakan seperti ini harus dikurangi, bahkan dihilangkan.
Hal ini tentunya akan memiliki suatu implikasi politis. Keadaan di mana tingkat interdependensi antar negara yang cukup besar tentunya, dalam batasan – batasan tertentu, akan menurunkan tingkat kedaulatan (sovereignty) negara – negara tersebut. Menurunnya tingkat kedaulatan itu ditandai dengan pengambilan keputusan masing – masing negara besar kemungkinannya dipengaruhi atau diintervensi oleh situasi hubungan antar negara tersebut, diplomasi yang dilakukan negara lain yang berperan sebagai trading partner, dan kebijakan domestik negara lain. Menurunnya tingkat kedaulatan ini dapat meredakan ketegangan yang berlangsung di antara negara – negara tersebut karena kepentingan – kepentingan menyangkut negara – negara tersebut mendorong mereka berkompromi. Dependensi substansial kepada satu atau lebih negara diidentifikasi sebagai determinan utama untuk kebijakan luar negeri bagi negara yang ”dependent.[3] Patut dicatat di sini bahwa penggunaan kata ”dependensi” merujuk pada efek interdependensi pada salah satu negara.
Namun, muncul pertanyaan kritis lain mengenai interdependensi yang terbentuk karena perdagangan bebas ini, yaitu apakah yang sebetulnya terbentuk, interdependensi atau dependensi? Kedua hal tersebut berbeda satu sama lain. Dependensi merujuk pada suatu keadaan di mana outcome yang ingin dicapai secara signifikan di suatu tempat membutuhkan suatu kondisi atau perkembangan di tempat lain.[4] Perbedaan utama antara dependensi dan interdependensi terletak pada sifat hubungannya. Dependensi lebih bersifat hubungan satu arah, sedangkan interdependensi bersifat timbal balik. Secara teoritis, dependensi dan interdependensi mudah dibedakan. Namun secara praktikal, penggolongan hubungan timbal balik antar negara sebagai suatu hubungan interdependen maupun dependen sulit dilakukan. Hubungan antara negara – negara berkembang dan negara – negara industri maju dalam dunia nyata banyak dibahas melalui teori dependensi.
Teori dependensi mengatakan bahwa kondisi yang dialami negara – negara yang kurang berkembang, atau sering juga disebut sebagai negara – negara selatan, merupakan dependesi struktural.[5] Hal ini dilihat dari posisi yang berbeda antara negara – negara selatan dan utara dalam kegiatan perekonomian. Dalam hal perdagangan, terjadi ketidakseimbangan antara kedua kelompok tersebut. Negara – negara selatan merupakan negara yang hampir selalu mengalami defisit balance-of-trade, di mana jumlah ekspor sangat sedikit, dan jumlah impor dari negara – negara utara sangat besar, dan begitu pula sebaliknya. Negara – negara selatan cenderung menjadi pihak yang ”hanya” menyediakan resource bagi negara – negara utara, dan menjadi pasar yang besar bagi negara – negara utara tersebut. Kegiatan – kegiatan wirausaha domestik di negara – negara selatan cenderung tidak dapat bersaing dengan kekuatan modal dan efektifitas perusahaan – perusahaan multinasional yang berasal dari negara – negara maju. Di sini, dapat kita lihat ketidaksimetrisan posisi antara negara – negara Utara dan negara – negara Selatan. Negara – negara utara cenderung menjadi negara yang mendominasi perekonomian, dan negara negara selatan menjadi subordinat dari negara – negara utara tersebut. Struktrur dependensia tersebut merupakan hal yang sekarang banyak ditekankan oleh negara – negara selatan untuk dirombak demi berkembangnya perekonomian mereka.
Berbeda dari pandangan di atas, kaum liberal ortodoks percaya bahwa hubungan Utara – Selatan justru menyediakan lebih banyak keuntungan bagi negara Selatan dibanding negara Utara.[6] Menurut kaum liberal tersebut, permasalahan ekonomi disebabkan kebijakan dalam negeri yang tidak efisien dan bukannya karena posisi mereka dalam perekonomian global yang bersifat dependen. Kebijakan ekonomi terbuka yang diterapkan justru akan meningkatkan hubungan mereka dengan negara Utara dan dengan begitu akan lebih berhasil dalam pembangunan mereka. Kaum liberal intervensionis, tidak seperti kaum liberal ortodoks yang percaya pada kesetaraan perlakuan bagi negara Utara dan Selatan dalam sebuah pasar terbuka, menyarankan bahwa negara Utara harus mempertimbangkan kebutuhan – kebutuhan spesial bagi negara Selatan.[7]
Dapat disimpulkan bahwa, kondisi seperti ini menunjukkan bahwa kondisi sistem ekonomi internasional saat ini sesuai dengan yang telah dijabarkan di atas masih bersifat anarki sekaligus interdependen, seperti apa yang dikatakan Papp dalam tulisannya ini. Hal itu dapat kita lihat dari persaingan antar negara itu sendiri untuk memperoleh kekuatan ekonomi yang besar, dan di saat yang sama, tetap terus bekerja sama demi kepentingan mereka masing – masing. Setidaknya hal itu terlihat dari hubungan negara – negara Utara dan Selatan.
Melihat iklim persaingan bisnis di Indonesia di mana pemain besar atau asing mendominasi di sektor keuangan, mineral, manufaktur produk material dasar sampai consumer products, chain retailer,information dan services, ini merupakan tantangan setiap industri mampu menjadi unggul di bidangnya. Ternyata ada dua hal dasar yang harus disadari bersama. Pertama, kekuatan intangible assets. Realita kebanyakan pemikiran para pemilik & manajemen puncak perusahaan masih banyak didominasi investasi berwujud, sedangkan pengeluaran intangible assets-nya lebih dianggap sebagai biaya. Intangible assets mencakup sistem manajemen, sistem informasi, kemampuan orang, sikap mental & perilaku tiap individu, kepemimpinan, team work, brand image untuk produk atau perusahaan, layanan prima, motivasi seluruh karyawan dan budaya kerja. Di tengah negara dengan SDM berdaya saing rendah dibandingkan profesional negara lain dari sisi mental attitude & behavior dan kompetensi teknisnya, Persaingan sekarang menuntut produk bermutu, pengiriman tepat waktu, layanan cepat, purna jual memuaskan dan harga bersaing. Untuk itu dibutuhkan keunggulan manajemen perusahaan untuk mengelola bisnis dengan ketajaman daya saing yang harus dibangun secara sistematis. Perlu kita sadari bersama bahwa yang dulu kelihatan hebat sekarang sudah menjadi biasa-biasa saja, Untuk apa kita harus mendidik karyawan? Toh kalau pandai atau terampil malah pindah ke pesaing. Kita yang melatih, pesaing yang menikmati. Kita harapkan karyawan bekerja sekian lama harus makin pandai dan makin terampil dengan sendirinya. Kenyataannya belum tentu. Membangun sistem manajemen, kemampuan karyawan, sistem informasi merupakan biaya yang tidak jelas manfaatnya karena sering tidak secara instan dapat dilihat hasilnya. Dengan percaya pada orang lama, toh perusahaan ini masih untung dan tidak perlu menghamburkan biaya membangun manajemen yang handal.
Kecepatan perubahan di luar harus diimbangi dengan kesiapan manusia, sistem, manajemen, kepemimpinan serta informasi yang tepat dan cepat. Bisnis tidak dapat hanya mengandalkan lobi atau hoky tanpa didukung keandalan produk dan atau jasa dibandingkan pesaing. Banyak yang meyakini bahwa persaingan sekarang dan mendatang ternyata faktor keunggulan yang mendominasi adanya di intangible assets bukan di tangible assets. Lalu apa yang terjadi kalau sekarang Anda masih berpikir bahwa tangible assets yang merupakan bentuk investasi utama. Ingat, apakah Nike, Reebok, Cisco punya pabrik sendiri untuk melayani seluruh dunia? Mereka pemimpin pasar karena intangible assets-nya sebagai kunci strategis.
Faktor kedua yang harus disadari adalah 'perubahan internal' perusahaan untuk mengimbangi dan mengatasi persaingan dan tuntutan pasar yang berubah dengan cepat di beberapa sektor bisnis. Perubahan dalam iklim persaingan dengan makin tanpa batasnya antar negara karena dipakainya teknologi telekomunikasi dan informasi makin menjadikan persaingan turbulen.
Tentunya pola pikir dari setiap karyawan dan manajemen termasuk pemilik harus selaras dengan kebutuhan perubahan perusahaan karena faktor eksternal. Tiap perusahaan berkepentingan memetakan peta persaingan dan perubahan dalam persaingan yang dimilikinya. Untuk mengingatkan perlunya kesadaran mendalam dan menyeluruh dimulai dari pemilik atau manajemen puncak, maka kita perhatikan produk-produk China yang membanjiri hampir semua sektor.
Pola mereka sama dengan Jepang dan Taiwan pada awal mula mereka masuk pasar global dengan harga murah meskipun produknya banyak di-complain. Tapi ingat, mereka pasti menaikkan mutu produk untuk membangun kepercayaan setelah 'harga murah' menjadi jurus pemasaran pertama mereka dan tentunya mereka akan juga membangun after sales service produk mereka melalui distribution network yang harus mereka miliki baik dibangun sendiri atau kerjasama dengan mitra lokal untuk menunjang after sales service.
Salah satu faktor keberhasilan China menjadi dapur dunia adalah karena faktor mentalitas dan motivasi kerja yang luar biasa sehingga mereka mempunyai produktivitas kerja yang tinggi. Mereka kondisi yang membangun produktivitas kerja serta menjadi bagian dari budaya organisasi? Kesadaran untuk memacu pola pikir karyawan perusahaan menjadi dasar dalam keberhasilan anda membangun cbekerja bukan diukur oleh jam kerja melainkan oleh output yang harus mereka hasilkan. mendukung atau menciptakan hange management perusahaan. Timbul pertanyaan, change management-nya mau diarahkan kemana? Apakah menunjang strategi perusahaan untuk membangun daya saing terhadap global player? Memang menjadi tugas pemilik, manajemen puncak dan manajemen madya untuk membangun kesadaran tadi sehingga kita mampu menggulirkan bola salju keseluruh karyawan perusahaan. Demikianlah prioritas utama tanggungjawab anda sebagai manajemen perusahaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar