A. PERKEMBANGAN POLITIK SETELAH 21 MEI 1998
1. Pengangkatan Habibie Menjadi Presiden Republik Indonesia
Setelah B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden Republik
Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998. Tugas Habibie menjadi Presiden menggantikan
Presiden Soeharto sangatlah berat yaitu berusaha untuk mengatasi krisis ekonomi
yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997.
Habibie yang manjabat sebagai presiden menghadapi keberadaan
Indonesia yang serba parah, baik dari segi ekonomi, politik, sosial, dan
budaya. Langkah-langkah yang dilakukan oleh Habibie adalah berusaha untuk dapat
mengatasi krisis ekonomi dan politik. Untuk menjalankan pemerintahan, Presiden
Habibie tidak mungkin dapat melaksanakannya sendiri tanpa dibantu oleh
menteri-menteri dari kabinetnya.
Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden Republik Indonesia yang
ketiga B.J. Habibie membentuk kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi
Pembangunan. Kabinet itu terdiri atas 16 orang menteri, dan para menteri itu
diambil dari unsur-unsur militer (ABRI), Golkar, PPP, dan PDI.
Dalam bidang ekonomi, pemerintahan Habibie berusaha keras
untuk melakukan perbaikan. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintahan
Habibie untuk meperbaiki perekonomian Indonesia antaranya :
Merekapitulasi
perbankan
Merekonstruksi
perekonomian Indonesia.
Melikuidasi
beberapa bank bermasalah.
Manaikan nilai
tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat hingga di bawah Rp.10.000,-
Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang diisyaratkan oleh IMF.
Presiden Habibie sebagai pembuka sejarah perjalanan bangsa
pada era reformasi mangupayakan pelaksanaan politik Indonesia dalam kondisi
yang transparan serta merencanakan pelaksanaan pemilihan umum yang langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilihan umum yang akan diselenggarakan
di bawah pemerintahan Presiden Habibie merupakan pemilihan umum yang telah
bersifat demokratis. Habibie juga membebaskan beberapa narapidana politik yang
ditahan pada zaman pemerintahan Soeharto. Kemudian, Presiden Habibie juga
mencabut larangan berdirinya serikat-serikat buruh independent.
2. Kebebasan
Menyampaikan Pendapat
Pada masa pemerintahan Habibie, orang bebas mengemukakan
pendapatnya di muka umum. Presiden Habibie memberikan ruang bagi siapa saja
yang ingin menyampaikan pendapat, baik dalam bentuk rapat-rapat umum maupun
unjuk rasa atau demontrasi. Namun khusus demontrasi, setiap organisasi atau
lembaga yang ingin melakukan demontrasi hendaknya mendapatkan izin dari pihak
kepolisian dan menentukan tempat untuk melakukan demontrasi tersebut. Hal ini
dilakukan karena pihak kepolisian mengacu kepada UU No.28 tahun 1997 tentang
Kepolisian Republik Indonesia.
Namun, ketika menghadapi para pengunjuk rasa, pihak
kepolisian sering menggunakan pasal yang berbeda-beda. Pelaku unjuk rasa yang
di tindak dengan pasal yang berbeda-beda dapat dimaklumi karena untuk menangani
penunjuk rasa belum ada aturan hukum jelas.
Untuk menjamin kepastian hukum bagi para pengunjuk rasa,
pemerintahan bersama (DPR) berhasil merampungkan perundang-undangan yang
mengatur tentang unjuk rasa atau demonstrasi. adalah UU No. 9 tahun 1998
tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Adanya undang – undang tersebut menunjukkan bahwa pemerintah
memulai pelaksanaan sistem demokrasi yang sesungguhnya. Namun sayangnya,
undang-undang itu belum memasyarakat atau belum disosialisasikan dalam
kehidupan masarakat. Penyampaian pendapat di muka umum dapat berupa suatu
tuntutan, dan koreksi tentang suatu hal.
3. Masalah Dwifungsi ABRI
Menanggapi munculnya gugatan terhadap peran dwifungsi ABRI
menyusul turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, ABRI melakukan
langkah-langkah pembaharuan dalam perannya di bidang sosial-politik.
Setelah reformasi dilaksanakan, peran ABRI di Perwakilan
Rakyat DPR mulai dikurangi secara bertahap yaitu dari 75 orang menjadi 38
orang. Langkah lain yang di tempuh adalah ABRI semula terdiri dari empat
angkatan yaitu Angkatan Darat, Laut, dan Udara serta Kepolisian RI, namun mulai
tanggal 5 Mei 1999 Polri memisahkan diri dari ABRI dan kemudian berganti nama
menjadi Kepolisian Negara. Istilah ABRI pun berubah menjadi TNI yang terdiri
dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
4. Reformasi Bidang Hukum
Pada masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie dilakukan
reformasi di bidang hukum Reformasi hukum itu disesuaikan dengan aspirasi yang
berkembang dimasyarakat. Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Habibie untuk
mereformasi hukum mendapatkan sambutan baik dari berbagai kalangan masyarakat,
karena reformasi hukum yang dilakukannya mengarah kepada tatanan hukum yang
ditambakan oleh masyarakat.
Ketika dilakukan pembongkaran terhadapat berbagai produksi
hukum atau undang-undang yang dibuat pada masa Orde Baru, maka tampak dengan
jelas adanya karakter hukum yang mengebiri hak-hak.
Selama pemerintahan Orde Baru, karakter hukum cenderung
bersifat konservatif, ortodoks maupun elitis. Sedangkan hukum ortodoks lebih
tertutup terhadap kelompok-kelompok sosial maupun individu didalam masyarakat.
Pada hukum yang berkarakter tersebut, maka porsi rakyat sangatlah kecil, bahkan
bias dikatakan tidak ada sama sekali.
Oleh karena itu, produk hukum dari masa pemerintahan Orde
Baru sangat tidak mungkin untuk dapat menjamin atau memberikan perlindungan
terhadap Hak-hak Asasi Manusia (HAM), berkembangnya demokrasi serta munculnya
kreativitas masyarakat.
5. Sidang Istimewa MPR
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, telah dua kali
lembaga tertinggi Negara melaksanakan Sidang Istimewa, yaitu pada tahun 1967
digelar Sidang Istimewa MPRS yang kemudian memberhentikan Presiden Soekarno dan
mengangkat Soeharto menjadi Presiden Rebuplik Indonesia. Kemudian Sidang
Istimewa yang dilaksanakan antara tanggal 10 – 13 Nopember 1998 diharapkan MPR
benar-benar menyurahkan aspirasi masyarakat dengan perdebatan yang lebih segar,
lebih terbuka dan dapat menampung, aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat.
Hasil dari Sidang Istimewa MPR itu memutuskan 12 Ketetapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar